Lahirnya Kota Apem
Masuknya
bangsa kolonial ke nusantara menjadikan runtuhnya kerajaan–kerajaan besar di
Indonesia salah satunya Kerajaan Majapahit. Peristiwa runtuhnya Kerajaan
Majapahit sering disebut dengan Sengkala
Sirna Ilang Kertaning Bumi (1940).
Salah
satu dari putra Kerajaan Majapahit yang bernama Wasibagno yang merupakan
keturunan dari Sunan Giri yang tinggal di Dusun Nribik, Jawa Timur. Sesuai
dengan salah saatu budaya jawa mikul
duwur mendem jero, agar naluri eyangnya terus mengalir kemudian nama
Wasibagno diganti menjadi Kiyahi Ageng Gribig. Nama Kyahi Ageng Gribig ini
diambil dari nama eyangnya. Ketika
remaja Wasibagno memiliki niat untuk meninggalkan tanah Majapahit dengan tujuan
untuk mencari ketenangan jiwa dan mencari jatidiri yang sebenarnya. Wasibagno
berjalan ke arah barat Pulau Jawa hingga sampai di suatu daerah yang kita kenal
dengan sebutan Magelang & Purworejo tepatnya di Lembah Sungai Bogowonto.
Akan tetapi, Wasibagno mengurungkan niatnya untuk melanjutkan perjalanan.
Tiba-tiba Wasibagno teringat ibunya yang masih berada di Jawa Timur, Wasibagno
memutuskan kembali ke Jawa Timur untuk mencari keberadaan ibunya yang bernama
Raden Ayu Ledah. Tak lama Wasibagno berhasil menemukan keberadaan ibunya. Wasibagno
mengajak ibunya mengikuti perjalan dalam rangka mencari ketenangan jiwa dan
jati dirinya. Setelah menempuh perjalanan jauh tepatnya di Desa Wonosroyo,
Karanganyar, Raden Ayu Ledah sudah tidak kuat dan memutuskan untuk tinggal di
Wonosroyo. Tak lama kemudian Raden Ayu Ledah meninggal dunia dan dikebumikan di
Desa Wonosroyo, Karanganyar.
Sepeninggal
ibunya Wasibagno melanjutkan perjalanan ke Sungai Bogowonto namun sesampainya
di lereng gunung yang dikenal dengan sebutan Gunung Merapi dan Gunung Merbabu
Wasibagno merasa menemukan sesuatu yang berbeda. Wasibagno merasa tenang dan
nyaman. Wasibagno mengurungkan niatnya untuk melanjutkan perjalanan ke
Bogowonto. Wasibagno memiliki kesenangan bertapa dalam rangka menenangkan
fikiran dengan menyepi atau menyendiri duduk di bawah pohon rindang yang
dikenal dengan nama Pohon Jati.
Wasibagno
atau Kyahi Ageng Gribig adalah orang yang masih memiliki darah Kerajaan
Majapahit sehingga secara naluriah Wasibagno senang mencari sesuatu hal yang
baru. Wasibagno selalu di dampingi dan diikuti oleh Klangenan yaitu Harimau (Kyahi Kopek) dan Ular Naga (Nyai Kasur).
Ketika Kyahi Ageng Gribig sedang mencari jati dirinya ia bertemu dengan Sunan
Pandanaran (Bayat) yang sudah mengenal dan
memeluk Agama Islam. Sunan Pandanaran dikenal sebagai orang yang memiliki ilmu
Islam yang tinggi. Kyahi Ageng Gribig dan Sunan Pandanaran berkenalan, bertatap
muka, berdiskusi hingga Kyahi Ageng Gribig mulai mengenal Islam, dan
mempelajari Islam dengan Sunan Pandanaran. Setelah belajar dan melaksanakan
ajaran Agama Islam Kyahi Ageng Gribig merasa semakin mantap dan yakin bahwa
ketenangan yang diperolehnya bertambah dan menyimpulkan bahwa Islam tepat
digunakan sebagai pegangan hidup.
Lambat
tahun keberadaan Kyahi Ageng Gribig
mulai diketahui masyarakat di luar hutan. Ketika Kyahi Ageng Gribig sedang
menyendiri ada masyarakat yang melihatnya dan merasakan aura yang berbeda
hingga terjadi dialog antara Kyahi Ageng Gribig dengan masyarakat tersebut.
Kyahi Ageng Gribig menyatakan bahwa beliau masih keturunan dari Kerajaan Majapahit,
mendengar hal tersebut masyarakat tertarik untuk lebih mengenal Kyahi Ageng
Gribig. Setelah keberadannya diketahui oleh masyarakat di luar hutan beliau
mulai menyampaikan Islam kepada penduduk, strategi yang dilakukan Kyahi Ageng
Gribig dalam berdakwah menggunakan cara yang manis, indah, humanis dan masih
menggunakan budaya lokal (Hindu – Budha). Penduduk mulai tertarik untuk
mengikuti Kyahi Ageng Gribig dan mengikuti ajaran-ajaran Islam. Semakin lama
murid dari Kyahi Ageng Gribik atau lebih dikenal dengan sebutan santri semakin
bertambah banyak hingga ada salah satu dari santri mengusulkan kepada Kyahi
Ageng Gribig untuk membuat tempat ibadah yaitu Masjid untuk melaksanakan ibadah
sholat lima waktu. Kyahi Ageng Gribig menerima usulan santrinya dan masjid yang
dibuat disesuaikan dengan budaya lokal dengan atapnya dibentuk menyerupai Meru (beratap susun tiga). Selain itu, tempat
pengimaman dibuat seperti Relung
(pintu masuknya candhi) yang berornamen flora. Masjid tersebut didirikan dengan
memanfaatkan pohon – pohon yang ada di sekitar hutan yaitu Pohon Jati dan
menggunakan ledhok (sejenis semen).
Kyahi
Ageng Gribik juga mengubah hutan belantara menjadi sebuah perkampungan. Banyak
masyarakat dari luar hutan masuk ke dalam hutan untuk mempelajari ajaran – ajaran
Islam dan melaksanakan sholat lima waktu di masjid yang dibangun Kyahi Ageng
Gribig tersebut. Kyahi Ageng Gribig menamai kampung tersebut dengan nama “Jati
Enom”. Kata Jati Enom diambil karena banyak pohon – pohon jati muda disekitar
hutan tersebut, yang sekarang ini nama “Jati Enom” lebih dikenal dengan nama
Jatinom.
Banyak
ilmu tentang agama dan budaya yang dihubungkan dengan keyakinan Islam oleh
Kyahi Ageng Gribig yang digunakan sebagai sarana dakwah untuk menyampaikan
Agama Islam. Kyahi Ageng Gribig memiliki banyak santri namun beliau tidak
memperkenankan para santri untuk tinggal dan membuat tempat di sekitar masjid.
Hal itu dilakukan dengan tujuan agar para santri kembali ketempat tinggal
mereka dan menyampaikan ilmu baru yang telah ia dapat kepada masyarakat
setempat agar Agama Islam semakin berkembang. Ketika itu “Jati Enom” termasuk
dalam daerah kekuasaan Kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung
Hanyokrokusuma, hampir seluruh wilayah nusantara merupakan daerah kekuasaan
Mataram khususnya di Pulau Jawa.
Dewasa
ini Jatinom sering dijuki sebagai Kota Apem. Setiap Bulan Sapar (salah satu bulan di Kalender Tahun Saka) bagi sebagian besar
masyarakat Jatinom merupakan bulan yang paling ditunggu–tunggu kedatangannya.
Ketika Bulan Sapar datang seluruh
masyarakat Jatinom dan sekitarnya menyambut dengan berbagai perayaan seni,
pendidikan, dan agama dalam rangka
memperingati kegiatan tahunan yang telah turun–temurun sejak sepeninggal Kyahi
Ageng Gribig hingga sekarang yaitu Yaaqowiyyu.
Yaaqowiyyu merupakan salah satu
warisan dari Kyahi Ageng Gribig kepada masyarakat Jatinom (1511 Saka).
Berbagai persiapan perayaan
dilakukan oleh masyarakat Jatinom dari kalangan muda hingga tua khususnya Pengelola Pelestari Peninggalan
Kyahi Ageng Gribik ( P3KAG ) Jatinom Klaten dan Pemerintah Daerah Jatinom untuk
menyelenggarakan dan mensukseskan kegiatan Yaaqowiyyu.
Yaaqowiyyu sudah mulai dikemas oleh
Pemerintah Daerah Klaten pada tahun 1984 dan sudah dibuat rangkaian acara tetap
dalam perayaan Yaaqowiyyu untuk
melestarikan budaya asli daerah. Kegiatan perayaan Yaaqowiyyu dilaksanakan selama tujuh hari dengan acara puncak yaitu
Penyebaran Apem di Lapangan Klampeyan.
Cipta : Muhammad Nanda Jabar Rozaq
Komentar
Posting Komentar